Asal Usul Lafazh Allah ( الله ) Ditinjau Dari Bahasa
Ulama ahli bahasa telah membahas asal usul kata Allah. Pembahasan ini terkait tinjauan bahasa kata Allah, BUKAN membahas asal Dzat Allah.
■ Pendapat pertama, bahwa kata Allah (الله) adalah kata murtajal atau kata jamid (kata yang tidak memiliki kata asal).
Seperti kata "sumur" kita tidak mengatakan, kata "sumur" berasal dari kata "su" atau "mur". Berbeda dengan kata "perbuatan" yang ini berasal dari kata dasar "buat" atau kata "kekuasaan", yang ini berasal dari kata "kuasa".
Karena kata "Allah" tidak memiliki asal-usul, maka tidak perlu dicari kata dasarnya dan tidak boleh dihilangkan alif dan lam yang ada di depan kata Allah (الله).
Ini merupakan pendapat Ibnul Arabi (wafat 543), Abul Qasim as-Suhaili (wafat 581), ar-Razi (wafat 606), banyak di kalangan ahli ushul dan merupakan salah satu pendapat Sibawaih. Mereka beralasan, nama Allah tidak memiliki kata asal, karena jika memiliki kata dasar berarti kata ini turunan. Sementara nama Allah itu qadiim (ada sejak awal), sementara sesuatu yang qadiim tidak memiliki asal.
■ Pendapat kedua, kata Allah adalah kata musytaq (kata turunan yang memiliki kata dasar).
Pendapat ini berdalil dengan firman Allah,
وَهُوَ اللَّهُ فِي السَّمَوَاتِ وَفِي الْأَرْضِ
“Dialah Allah di langit dan di bumi..” (QS. al-An’am: 3)
Ayat ini menegaskan bahwa kata "Allah" adalah kata sifat bagi Sang Pencipta. Agar ayat di atas bisa dipahami dengan baik, kata "Allah" harus ditarik pada asal katanya, yaitu al-Ilah (Sang Tuhan yang disembah). Sehingga bisa kita terjemahkan, “Dialah Sang Tuhan yang disembah di langit dan di bumi.”
Jika kita pahami bahwa kata ini tidak memiliki kata asal, terjemahnya akan menjadi rancu, “Dialah ‘Allah’ di langit dan di bumi..” Padahal Allah tidak berada di bumi.
Ibnul Qayyim mengatakan,
ولهذا كان القول الصحيح أن الله أصله الإله، كما هو قول سيبويه وجمهور أصحابه، إلا مَن شذ منهم، وأن اسم الله تعالى هو الجامع لجميع معاني الأسماء الحسنى، والصفات العلى
"Karena itulah, pendapat yang benar bahwa kata Allah berasal dari kata al-Ilah (Sang Tuhan yang disembah), yang ini merupakan pendapat Sibawaih dan mayoritas pengikutnya, kecuali sebagian kecil yang tidak sepakat dengannya. Dan bahwa nama Allah Ta’ala adalah nama yang menggabungkan semua makna dari asmaul husna dan sifat-sifat-Nya yang mulia." (lihat Bada’i al-Fawaid, 2/473).
Ulama ahli bahasa berbeda pendapat dalam masalah ini.
(1) Kata Allah berasal dari kata al-Ilaah (الإِلَـه) yang itu merupakan turunan dari kata Aliha – Ya’lahu [أَلِـهَ – يَـأْلَـهُ] yang artinya menyembah atau beribadah. Sedangkan kata ilaah adalah bentuk masdar (kata dasar) yang bisa bermakna sebagai isim fa’il (pelaku) dan bisa juga sebagai isim maf’ul (objek perbuatan). Jika kita bawa pada makna isim maf’ul; berarti menjadi al-Ma’luh [الـمـألوه] yang artinya Dzat yang disembah.
(2) Kata Allah berasal dari kata laaha – yaliihu [لاه – يليه] yang artinya tersembunyi. Yang ini mengisyaratkan bahwa diberi nama ‘Allah’ karena Dia Dzat yang tersembunyi dari semua makhluk-Nya.
(lihat I’rab al-Quran wa Bayanuhu, Muhyiddin Darwisy, 1/9)
Perbedaan Hanya Kajian Seputar Bahasa
Bahwa perbedaan ulama dalam masalah ini hanya perbedaan dari sisi makna bahasa. Perbedaan di permukaan (ikhtilaf syakli). Karena itu, semua tetap meyakini bahwa kata ‘Allah’ adalah nama untuk Rabbul Izzah, Sang Pencipta langit dan bumi.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengakhiri pembahasan ini dengan menyatakan,
إن اختلاف القائلين بالاشتقاق وعدمه، إنما هو اختلاف شكلي، أما اعتقادهم في أسماء وصفات الله كلها فهو أنها قديمة، والقديم لا مادة له
Bahwa perbedaan pendapat mengenai asal kata "Allah", apakah memiliki akar kata ataukah tidak, hanyalah ikhtilaf syakli. Adapun keyakinan mereka terkait nama dan sifat Allah, semuanya adalah qadim (sejak dulu). Sedangkan sesuatu yang qadim berarti tidak memiliki unsur penyusun.
والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar